Akuntansi.umsida.ac.id – Kepatuhan pajak di Indonesia menjadi salah satu masalah klasik yang terus menghantui upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara.
Padahal, pajak adalah pilar utama dalam pembiayaan negara, yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Namun, ironisnya, meskipun kewajiban membayar pajak sudah jelas diatur, banyak masyarakat yang masih enggan melaksanakan kewajiban tersebut.
Apakah ketidakpatuhan ini disebabkan oleh ketidaktahuan atau justru karena hilangnya kepercayaan terhadap pengelolaan dana negara?
Ini mengulas lebih dalam fenomena rendahnya kepatuhan pajak, yang lebih berakar pada faktor moral dan persepsi publik terhadap pengelolaan keuangan negara.
Baca juga: Kebijakan Upah Minimum Antara Tantangan Dunia Usaha dan Harapan Kesejahteraan Sosial
Kepatuhan Pajak: Bukan Sekadar Soal Ketidaktahuan
Pajak adalah kewajiban yang tidak bisa dihindari setiap warga negara.
Di Indonesia, pajak yang dipungut melalui berbagai jenis, seperti pajak penghasilan, pajak kendaraan, dan pajak pertambahan nilai, bertujuan untuk mendanai berbagai program pembangunan.

Namun, meski pemahaman akan kewajiban ini cukup tinggi, realitasnya tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah.
Hal ini bukan hanya disebabkan oleh ketidaktahuan atau kurangnya sosialisasi tentang kewajiban pajak, melainkan juga disebabkan oleh faktor yang lebih mendalam kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dana negara.
Teori tax morale menjelaskan bahwa kepatuhan pajak tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan tentang kewajiban, tetapi juga oleh seberapa besar kepercayaan wajib pajak terhadap pemerintah dalam mengelola dana yang mereka bayarkan.
Ketika masyarakat merasa bahwa pajak yang mereka bayar tidak digunakan dengan bijak, atau bahkan disalahgunakan, maka mereka cenderung merasa tidak perlu untuk membayar pajak.
Masyarakat yang telah melihat berbagai kasus korupsi di tubuh lembaga-lembaga penting, seperti kasus korupsi yang melibatkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atau skandal Satgas BLBI, semakin merasa bahwa pajak yang mereka bayar hanya akan mengalir ke kantong oknum-oknum tertentu.
Lihat juga: Audit Internal di Persimpangan Jalan Antara Pencegah Korupsi atau Pelengkap Administrasi
Korupsi: Racun bagi Kepercayaan Publik
Kasus korupsi yang terus menghantui pengelolaan dana negara semakin memperburuk situasi ini.

Salah satu kasus yang sangat mencoreng citra DJP adalah skandal korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat pajak yang terbukti menerima suap.
Kejadian ini bukanlah hal yang baru, karena korupsi sudah menjadi penyakit kronis dalam birokrasi Indonesia.
Dampaknya jelas, selain merugikan negara secara langsung, kasus-kasus semacam ini juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pajak.
Bagaimana mungkin masyarakat mau patuh membayar pajak jika mereka merasa bahwa sebagian besar uang yang mereka bayarkan akan lenyap atau disalahgunakan?
Fenomena serupa juga dapat dilihat dalam kasus Satgas BLBI, yang mengungkapkan betapa besar kerugian negara akibat penyalahgunaan kewenangan.
Ketika kasus-kasus tersebut terungkap, kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dana negara semakin menipis.
Bagi banyak orang, pajak menjadi simbol ketidakadilan, di mana mereka merasa dirugikan sementara para pejabat atau oknum yang bertugas untuk mengelola dana publik malah memperkaya diri sendiri.
Perbandingan dengan Negara Skandinavia: Kepatuhan sebagai Kepercayaan Kolektif
Sebagai perbandingan, negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, dan Denmark, dikenal dengan tingkat kepatuhan pajak yang sangat tinggi.
Salah satu kunci keberhasilan mereka adalah kepercayaan publik terhadap pengelolaan pajak.
Di negara-negara tersebut, sistem pajak dan distribusi dana negara sangat transparan, dan masyarakat merasa bahwa pajak yang mereka bayar digunakan untuk kepentingan bersama.
Selain itu, sistem pajak yang adil dan pemerintahan yang minim korupsi membuat masyarakat tidak merasa dirugikan, melainkan merasa bahwa mereka turut berperan dalam pembangunan negara.
Jika Indonesia bisa meniru prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas yang diterapkan di negara-negara Skandinavia, besar kemungkinan tingkat kepatuhan pajak akan meningkat.
Sistem yang jelas, pengawasan yang ketat, serta tindakan tegas terhadap korupsi adalah kunci untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dana negara.
Menurunnya tingkat kepatuhan pajak di Indonesia bukanlah masalah yang bisa diselesaikan hanya dengan meningkatkan sosialisasi tentang kewajiban pajak.
Masalah ini lebih berakar pada hilangnya kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana negara, yang sering kali disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu.
Agar pajak bisa menjadi instrumen untuk kesejahteraan sosial, dibutuhkan langkah-langkah kongkret untuk menanggulangi korupsi dan meningkatkan transparansi dalam pengelolaan dana negara.
Tanpa kepercayaan masyarakat, pajak hanya akan menjadi beban, bukan solusi.
Ke depan, diperlukan usaha bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk membangun sistem pajak yang lebih adil, transparan, dan bebas dari korupsi.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah