Akuntasi.umsida.ac.id – Meski laporan keuangan diwajibkan untuk disusun secara akuntabel sesuai PSAK, praktik manipulasi demi citra positif perusahaan masih marak terjadi.
Banyak perusahaan melakukan rekayasa laporan demi menyenangkan investor atau menghindari kewajiban pajak.
Di tengah tekanan bisnis dan minimnya pengawasan, apakah transparansi keuangan masih bisa dipercaya?
Wajah Laporan Keuangan yang Tak Selalu Seindah Angkanya
Laporan keuangan seharusnya menjadi jendela transparansi yang memungkinkan publik menilai kondisi perusahaan secara objektif.

Namun dalam kenyataannya, dokumen ini kerap menjadi “topeng” yang dirancang untuk menyembunyikan fakta.
Alih-alih menyampaikan kebenaran, banyak perusahaan justru mempermanis laporan demi kepentingan pemilik modal atau manajemen.
Salah satu praktik manipulatif yang paling umum adalah window dressing yaitu strategi memperindah laporan agar terlihat stabil dan menguntungkan.
Misalnya, dengan menunda pencatatan beban atau mempercepat pengakuan pendapatan. Praktik ini belum tentu ilegal, tetapi secara etika jelas menyesatkan pengguna laporan.
Laporan menjadi tidak mencerminkan kondisi riil perusahaan, melainkan citra yang diinginkan.
Kasus Garuda Indonesia tahun 2018 menjadi salah satu contoh fenomenal. Perusahaan mencatat laba padahal dalam kenyataan mengalami kerugian besar.
Rekayasa tersebut dilakukan dengan mengakui pendapatan dari kerja sama jangka panjang sebagai pendapatan tahun berjalan.
Hal ini kemudian menjadi sorotan publik dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta memicu diskusi luas tentang lemahnya integritas laporan keuangan di BUMN.
Baca juga: Indonesia Masuk BRICS dan Masa Depan Ekonomi Global Pendidikan Ekonomi Harus Siap Menyambut Era Baru
Creative Accounting dan Celah di Balik PSAK
Selain window dressing, ada pula teknik yang dikenal sebagai creative accounting.

Ini adalah praktik manipulatif yang secara teknis masih mengikuti aturan PSAK, tetapi dengan interpretasi yang terlalu “kreatif” dan manipulatif.
Dengan bermain di area abu-abu regulasi, perusahaan bisa menyulap angka-angka keuangan sesuai kepentingan.
Contohnya, perusahaan dapat mengklasifikasikan utang sebagai pendapatan ditangguhkan, atau menyusun amortisasi aset agar terlihat menguntungkan dalam jangka pendek.
Praktik seperti ini memang sulit dideteksi karena secara formal tidak melanggar PSAK, tetapi mengaburkan substansi keuangan yang seharusnya disampaikan.
Tak jarang, creative accounting juga digunakan untuk menghindari pajak.
Dengan menyesuaikan struktur keuangan, perusahaan dapat menciptakan ilusi bahwa mereka memiliki laba yang lebih kecil, sehingga beban pajak juga ikut berkurang.
Ini jelas merugikan negara dan publik. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini menciptakan sistem ekonomi yang tidak adil dan menumpuk ketimpangan.
Lihat juga: Goodwill: Aset Tak Kasat Mata yang Bernilai Triliunan, Mahasiswa Akuntansi Harus Paham!
Saatnya Audit Independen dan Literasi Keuangan Publik Diperkuat
Realitas pahit di atas menunjukkan bahwa laporan keuangan belum sepenuhnya menjadi alat akuntabilitas yang dapat diandalkan.
Banyak perusahaan hanya menyusun laporan karena tuntutan regulasi, bukan sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik atau pemegang saham.
Akibatnya, laporan menjadi sekadar formalitas, bukan transparansi. Peran auditor independen menjadi sangat penting untuk menilai apakah laporan benar-benar mencerminkan kondisi perusahaan.
Sayangnya, sejumlah kasus menunjukkan bahwa lembaga audit kadang tidak cukup kritis atau bahkan ikut terlibat dalam menyusun narasi positif atas data keuangan.
Ini mencerminkan konflik kepentingan yang harus segera diatasi melalui reformasi pengawasan dan kode etik profesi akuntansi.
Di sisi lain, masyarakat sebagai pengguna laporan keuangan juga perlu dibekali dengan literasi yang cukup.
Investor, mahasiswa, maupun pemangku kebijakan harus diajarkan membaca laporan secara kritis tidak hanya melihat laba bersih, tetapi juga memeriksa catatan atas laporan keuangan, rasio-rasio penting, dan tren jangka panjang.
Tanpa partisipasi publik yang melek akuntansi, transparansi akan terus dimanipulasi secara halus.
Laporan keuangan seharusnya menjadi cermin kejujuran perusahaan, bukan alat untuk membangun ilusi.
Selama regulasi memiliki celah, pengawasan longgar, dan orientasi bisnis hanya pada laba, praktik manipulatif akan terus terjadi.
Jika ingin membangun iklim ekonomi yang sehat, kita harus mulai dari satu hal paling mendasa menyampaikan data dengan jujur, bukan dengan rekayasa angka.
Upaya menuju transparansi sejati harus melibatkan semua pihak, mulai dari regulator, akuntan, hingga masyarakat pengguna informasi.
Pendidikan etika profesi dan penguatan sanksi terhadap manipulasi laporan perlu menjadi prioritas.
Hanya dengan sistem yang tegas dan kesadaran kolektif, laporan bisa kembali menjadi alat kontrol yang jujur dan terpercaya.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah