Akuntansi.umsida.ac.id – Komisaris independen kerap dipandang sebagai benteng terakhir dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas perusahaan, termasuk dalam praktik penghindaran pajak yang marak di sektor transportasi.
Praktik penghindaran pajak (tax avoidance) selalu menjadi perdebatan panjang di dunia bisnis.
Di satu sisi, perusahaan berusaha menekan beban agar tetap kompetitif, sementara negara berkepentingan menjaga penerimaan untuk pembangunan.
Penelitian terbaru dosen Akuntansi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Herman Ernandi SE MM BKP, mengangkat isu ini dengan fokus pada sektor transportasi sektor yang dikenal kompleks dan penuh celah untuk praktik tax avoidance.
Baca juga: Kebijakan Upah Minimum Antara Tantangan Dunia Usaha dan Harapan Kesejahteraan Sosial
Tata Kelola Perusahaan dalam Sorotan
Penelitian berjudul Corporate Governance Moderates Tax Avoidance Determinants in Transportation Firms menemukan bahwa tata kelola perusahaan, khususnya peran komisaris independen, berperan penting sebagai variabel moderasi.

Artinya, kehadiran mereka mampu memperkuat atau melemahkan pengaruh faktor internal perusahaan terhadap tax avoidance.
“Peran komisaris independen tidak hanya sekadar formalitas. Mereka adalah pengawas yang bisa mengarahkan manajemen agar tetap berada dalam koridor kepatuhan pajak,” jelasnya, dalam penelitian tersebut.
Lihat juga: Pajak untuk Siapa? Menelusuri Krisis Kepatuhan Pajak di Tengah Kepercayaan yang Memudar
Komisaris Independen: Antara Rem dan Gas Pajak
Hasil analisis penelitian ini menunjukkan dinamika menarik. Corporate governance yang diproksikan melalui proporsi komisaris independen terbukti dapat memperkuat hubungan firm size, corporate social responsibility (CSR), dan capital intensity terhadap praktik tax avoidance.
Sebaliknya, pada faktor leverage dan thin capitalization, peran komisaris independen justru tidak signifikan dalam menekan penghindaran pajak.
Temuan ini membuka ruang diskusi baru, governance ternyata tidak selalu menjadi “rem” bagi praktik penghindaran pajak, tetapi bisa pula bertindak sebagai “gas” tergantung pada konteks.
Perusahaan besar dengan kompleksitas tinggi, misalnya, memiliki kapasitas dan strategi yang lebih canggih untuk mengatur struktur keuangan mereka.
Keberadaan komisaris independen di satu sisi dapat memperkuat pengawasan, namun di sisi lain, juga dapat memberikan legitimasi bagi strategi tax planning yang agresif jika pengawasan tidak berjalan optimal.
Menurut Herman, hal ini menunjukkan betapa pentingnya kualitas independensi dan kapasitas komisaris.
“Komisaris independen harus benar-benar menjalankan fungsi pengawasan, bukan hanya menjadi simbol. Tanpa itu, corporate governance berpotensi digunakan untuk membenarkan strategi pajak yang merugikan negara,” tegasnya.
Lebih jauh, penelitian ini menyinggung bagaimana praktik tax avoidance sering kali muncul dari ketidakseimbangan kepentingan antara fiskus sebagai prinsipal dan perusahaan sebagai agen.
Di sinilah komisaris independen seharusnya menjadi penengah, memastikan agar kepentingan negara dan publik tetap terjaga.
Pelajaran bagi Regulasi dan Dunia Usaha
Sektor transportasi menjadi studi kasus yang relevan karena kontribusinya besar bagi mobilitas nasional, tetapi juga tercatat sebagai salah satu penyumbang pajak terendah.
Dalam periode 2019–2023, sektor ini sering kali menunjukkan indikasi kuat praktik tax avoidance, meskipun pertumbuhan ekonominya cukup fluktuatif.
Hal ini menjadikan sektor transportasi sebagai cermin bagaimana kompleksitas bisnis bisa berdampak pada kepatuhan pajak.
Penelitian ini memberikan pesan penting bagi regulator: memperkuat peran komisaris independen bukan hanya soal jumlah, tetapi juga efektivitas pengawasan.
Bagi dunia usaha, hasil riset ini adalah peringatan bahwa praktik penghindaran pajak mungkin menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi berisiko merusak reputasi dan kepercayaan publik jika governance tidak dijalankan dengan benar.
“Hal ini menjadi bukti bahwa corporate governance bukan sekadar instrumen internal, tetapi juga bagian dari kontrak sosial antara perusahaan, negara, dan masyarakat,” kata Herman.
Ia menambahkan bahwa praktik tax avoidance yang terlalu agresif bisa berdampak negatif pada citra perusahaan, terutama ketika publik semakin kritis terhadap isu kepatuhan dan tanggung jawab sosial.
Bagi pemerintah, penelitian ini memberi masukan berharga untuk terus memperbaiki regulasi terkait tata kelola perusahaan dan memperkuat posisi komisaris independen.
Dengan mekanisme yang tepat, mereka bisa menjadi garda terdepan dalam menekan praktik tax avoidance, sekaligus mendorong perusahaan untuk beroperasi lebih transparan dan bertanggung jawab.
Penelitian Herman Ernandi menghadirkan perspektif baru: komisaris independen adalah aktor kunci yang bisa menjaga keseimbangan antara kepentingan fiskus dan tujuan bisnis perusahaan.
Namun efektivitasnya sangat ditentukan oleh integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam menjalankan fungsi pengawasan.
Di tengah upaya pemerintah meningkatkan kepatuhan pajak, riset ini memberi refleksi bahwa tata kelola perusahaan bukan sekadar dokumen formal, melainkan arena nyata dalam pertarungan kepentingan.
Sektor transportasi hanya salah satu contoh; pelajaran dari penelitian ini relevan untuk seluruh industri yang beroperasi di Indonesia.
Sumber: Corporate Governance Moderates Tax Avoidance Determinants in Transportation Firms
Penulis: Indah Nurul Ainiyah