Akuntansi.umsida.ac.id – Audit internal seharusnya menjadi garda depan dalam mendeteksi penyimpangan dan mencegah korupsi.
Namun, dalam banyak kasus seperti Jiwasraya, Asabri, hingga Garuda Indonesia, peran audit internal justru dipertanyakan.
Apakah benar mereka gagal menjalankan tugas, atau memang sengaja membiarkan kejanggalan berlalu tanpa peringatan?
Dari Alat Pencegah Korupsi Menjadi Formalitas Rutin
Audit internal merupakan sistem kontrol yang dirancang untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi dalam suatu organisasi.
Merujuk pada SPAP (Standar Profesi Akuntan Publik), audit bertanggung jawab mengawasi kelayakan laporan keuangan, sistem pengendalian internal, serta mendeteksi potensi penyimpangan.
Dalam praktiknya, audit internal seharusnya menjadi tameng utama dari skandal keuangan dan manipulasi data.
Namun, fakta di lapangan sering kali berkata lain. Laporan keuangan yang diaudit tetap lolos membawa borok besar yang akhirnya terbongkar setelah publik geger.

Kasus Jiwasraya, misalnya, melibatkan kerugian negara hingga Rp16,8 triliun. Skandal itu tak mungkin terjadi secara tiba-tiba.
Begitu pula dengan Asabri dan Garuda Indonesia, yang menunjukkan gejala penggelembungan aset dan manipulasi laporan yang berlangsung bertahun-tahun.
Ke mana peran audit internal dalam semua ini? Seringkali, audit hanya menjadi rutinitas administratif: ada laporan, ada checklist, dan selesai.
Padahal, esensinya bukan pada seberapa tebal laporan disusun, melainkan seberapa tajam analisis dan integritas auditor dalam mengungkap potensi kecurangan.
Ketika integritas dilemahkan oleh tekanan manajemen atau kepentingan politik, audit internal kehilangan giginya.
Lihat juga: HRD PT Interbat Bongkar Strategi Lolos Dunia Kerja di Seminar Pra Yudisium FBHIS Umsida
Expectation Gap: Harapan Publik vs Realita Audit Internal
Dalam dunia audit dikenal istilah expectation gap, yakni jurang antara harapan publik terhadap peran auditor dengan kenyataan di lapangan.
Masyarakat berharap auditor bisa menjadi ‘detektif’ keuangan yang mampu mengungkap korupsi atau kesalahan laporan, namun auditor sering kali berdalih bahwa tugas mereka hanya memastikan kewajaran, bukan membongkar skandal.
Jurang ini semakin lebar ketika hasil audit internal tidak pernah dipublikasikan secara transparan.
Di institusi pemerintah maupun BUMN, hasil audit internal sering dikunci dalam lingkaran elite manajemen, membuat publik tidak bisa melakukan pengawasan lanjutan.
Ketiadaan transparansi inilah yang membuka ruang gelap bagi praktik manipulatif untuk terus berlangsung.
Dalam kerangka teori audit expectation gap, perbaikan bisa dilakukan jika auditor internal tidak hanya bekerja untuk memenuhi standar teknis, tetapi juga memahami nilai etika dan tanggung jawab sosial dari pekerjaannya.
Artinya, seorang auditor tidak bisa lagi berdiri netral ketika melihat penyimpangan, melainkan harus punya keberanian moral untuk menyuarakan kebenaran.
Baca juga: Goodwill: Aset Tak Kasat Mata yang Bernilai Triliunan, Mahasiswa Akuntansi Harus Paham!
Perlu Reformasi Menyeluruh dan Perlindungan Whistleblower
Menyalahkan individu auditor semata tentu tidak adil. Banyak dari mereka bekerja di bawah tekanan dan ketidakpastian.

Yang dibutuhkan adalah reformasi sistemik, termasuk memperkuat independensi unit audit internal dan memberikan jalur komunikasi langsung ke pemegang saham atau publik, bukan hanya ke manajemen yang diaudit.
Selain itu, perlindungan terhadap whistleblower harus diperkuat. Tak sedikit auditor atau karyawan yang sebenarnya tahu soal penyimpangan, namun bungkam karena takut terhadap intimidasi, kehilangan pekerjaan, bahkan kriminalisasi.
Jika sistem tidak menjamin keselamatan pelapor, maka keberanian untuk mengungkap kebenaran pun akan padam.
Sebagai masyarakat dan mahasiswa yang peduli pada tata kelola yang bersih, kita tidak bisa tinggal diam.
Kita harus mendorong audit internal agar kembali ke fungsi sejatinya menjadi penjaga nilai kejujuran dan keadilan dalam setiap angka yang tercetak di laporan.
Audit bukan sekadar laporan tahunan, tetapi titik awal mencegah kehancuran sistemik yang bisa merugikan negara dan rakyat.
Skandal besar yang lolos dari audit internal membuktikan bahwa sistem pengawasan tidak cukup hanya dengan kepatuhan administratif.
Dalam praktiknya, banyak auditor internal yang terjebak dalam konflik kepentingan diminta mengawasi orang yang juga menjadi atasan mereka sendiri.
Situasi ini menciptakan dilema etika yang berat, apalagi ketika laporan hasil audit bisa diintervensi atau bahkan diabaikan oleh pihak manajemen.
Oleh karena itu, perlu adanya regulasi yang memisahkan fungsi audit dari struktur organisasi yang diawasi, terutama di institusi negara dan BUMN.
Ketika auditor bisa bekerja tanpa tekanan, didukung dengan kompetensi teknis dan perlindungan hukum, maka peran audit akan jauh lebih bermakna.
Inilah saatnya kita tidak hanya menuntut transparansi, tapi juga membangun budaya integritas dalam proses audit yang sesungguhnya.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah